Minggu, 05 Juli 2009

PENGANIAYAAN PADA ANAK

PENGANIAYAAN FISIK PADA ANAK


Penganiayaan fisik anak merupakan suatu hukuman fisik yang menyebabkan cedera pada seseorang dibawah usia remaja yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuhnya. Dalam hal ini menyangkut fisik, seksual dan penelantaran. Sudah terlalu sering kita mendengar kekerasan yang dilakukan orang tua atau pengasuh pada sang buah hati. Telah disebutkan, 10-15% kecelakaan pada anak yang memerlukan tindakan darurat adalah akibat penganiayaan fisik dari orang tua atau pengasuhnya.
Cidera fisik yang terlihat akibat penganiyaan pada umumnya begitu khas. Biasanya berupa memar di pantat, dipunggung bagian bawah, juga dipaha bagian dalam bahkan kelamin. Dapat juga memar dengan bentuk khusus, berupa bekas tangan, cakaran, cambukan dan cubitan. Dalam konteks tinggi, dengan adanya bekas luka bakar. Dan dalam konteks yang lebih berat, dengan adanya pendarahan diselaput otak, sejumlah rusuk yang patah, patah tulang spiral dilengan akibat puntiran paksa, serta pecahnya hati atau limpa. Sedangkan karena pemukulan diwajah, biasanya terlihat dengan penggumpalan darah disekitar mata dan gangguan lensa (penglihatan)
Kecurigaan akan semakin kuat, jika saat ditanyakan pada pelaku penganiayaan didapatkan jawaban yang tidak masuk akal atau kontradiksi. Misalnya, orang yang dicurigai tidak dapat menjelaskan tentang keterlambatannya membawa anak yang cidera kedokter. Atau ketidaksesuaian pernyataan pelaku dengan deskrifsi fisik anak.

Penyebab penganiayaan
Pendapat yang satu ini memang masih dipertanyakan kebenarannya. Pelaku penganiayaan biasanya telah sering melihat ataupun mengalami penganiayaan, kehilangan, penolakan serta kurang mendapat kasih sayang yang memadai saat mereka masih anak-anak. Mereka kemungkinan memiliki orang tua yang gagal memberikan hal positif sebagai pengasuh. Atas pengalaman itu, perasaan tidak adekuatnya menguat hingga menyebabkan image diri yang negatif.
Dalam segi kepribadian, penganiayaan sedikitnya disebabkan pelaku mengalami gangguan internal, misalnya kepercayaan diri yang kurang, permusuhan, ataupun tekanan pekerjaan. Karena kebutuhan mempertahankan penampilan positif, mereka akhirnya menggunakan mekanisme pertahanan primitif berupa menyalahkan orang lain, hingga melakukan penganiayaan.
Ciri khas lainnya adalah ketidakpercayaan pada orang lain, kurang berinteraksi dengan sosial yang menyebabkan isolasi diri. Akibat kekurangan ketergantungan pada orang lain, maka sebuah penyiksaan dinilai sebagai sebuah kompensasi. Sedangkan anggapan nonteknis dalam masyarakat, status anak merupakan sebuah penyebab penganiayaan tertinggi, apalagi mengalami gangguan yang akan dijelaskan dibawah. Ayah tiri cenderung melakukan kekerasan pada anak isterinya, sebab perhatian sang isteri biasanya lebih cenderung pada anaknya. Dan sebaliknya.
Anak-anak yang cenderung menjadi korban penganiayaan biasanya adalah anak-anak yang memiliki masalah fisik, perkembangan dan psikologik, yang menyebabkan pengasuhan menjadi sulit. Misalnya anak yang sulit diasuh secara normal, seperti anak iritabel, hiper tonus, hipoaktif, lambat, sehingga sulit menyesuaikan diri. Demikian pula halnya dengan anak dengan gangguan fisik dan perkembangan yang memerlukan penanganan medis atau pendidikan khusus. Misalnya anak-anak berpenyakit fisik kronis, retardasi mental, keterlambatan berbicara atau cacat bawaan.
Banyak pula ahli beranggapan, faktor ekonomi merupakan penyebab utama terjadinya penganiayaan anak. Ini didasari oleh berbagai data yang menunjukkan bahwa banyak penganiayaan anak terjadi pada kelompok ekonomi rendah. Namun banyak pula ahli yang tak sependapat. Mereka menganggap bahwa stres lingkungan bukanlah penyebab utama, tetapi stres ini berinteraksi dengan faktor kepribadian orang tua atau pengasuh dan perilaku anak mencetuskan suatu penganiayaan.



Akibat

Akibat yang paling berbahaya adalah pada balita ; dapat menyebabkan kesulitan makan, kesedihan, kemarahan, dan penarikan diri pada sosial serta kekurangaktifan. Juga dapat terjadi perlambatan berbicara dan berbahasa serta perkembangan monotoris. Pada anak-anak pra sekolah, seringkali menjadi anak yang suka menyerang sebayanya dan menunjukkan ketidakpercayaan terhadap orang dewasa.
Penganiyaan pada anak yang sudah sekolah akan menghambat perkembangan fisik, menyebabkan gangguan stres paska trauma yang meliputi pengalaman panik yang hebat, merasa tak tertolong, mimpi-mimpi teror dan perilaku agresif.
Mereka akan menghadapi sesuatu yang baru dengan ketakutan, kecemasan, dan ketidakpercayaan. Dalam usaha membela diri terhadap sesuatu yang tak diinginkannya, mereka cenderung melakukan provokasi dan pembelaan primitif yaitu berupa penolakan kasar dan penyalahan orang lain.
Anak-anak ini akan cenderung bersikap agresif karena gagalnya mengontrol impuls. Di sekolah dapat menyebabkan gangguan penyesuaian pada segala hal. Jika tak ditangani, pada usia remajanya akan berperilaku anti sosial atau menyukai sesuatu yang bersifat kasar dan keras ; bicara kasar, balapan liar atau perkelahian. Disamping itu, mereka juga dapat mengalami konsep diri yang rendah dan depresi yang berlebihan, yang menyebabkan berperilaku pengrusakan diri, seperti narkoba atau seks bebas. Susunan saraf pusat yang terganggu akibat penganiayaan dimasa kecil juga dapat menyebabkan mental yang lemah, sehingga jika terjadi suatu masalah, kemampuan kesadaran diri sangat tipis hingga bisa membuat pencederaan diri sendiri dan bunuh diri. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbagi Ilmu

Kami berjanji untuk selalu memberikan yang terbaik untuk anda.